1Q84 dan Sejumlah Pesan Penulisan

wowot hk
4 min readJul 31, 2021

--

Photo by Michael Dziedzic on Unsplash

Sepintas melihat sampul berjudul 1Q84, saya teringat dengan 1984-nya Orwell. Ada apa dengan Murakami? Mungkinkah beliau akan bercerita tentang kisah sejarah otoritarian sebagaimana Orwell, ataukah ini hanya latar waktu yang sama? Kalau benar ini adalah kisah dengan latar belakang sejarah demikian, ada sebuah pertanyaan yang mencolok: sisi surealnya mana yang akan digali?

Pertanyaan terakhir saya sadari sebagai sebuah kemampuan bercerita yang amat dominan di sisi Murakami. Saya sadari itu dari Kafka on The Shore, novel pertama yang saya baca di tahun ini. Sebuah kisah yang cukup mendobrak imajinasi mengenai ruang dan waktu.

Menurut saya 1Q84 hadir dengan narasi imajinasi yang sama. Tentang sebuah dunia yang oleh tokoh Aomame, disebut 1Q84 dimana pada tahun 1984 ia melihat bulan di langit menjadi ada 2. Tidak ada sama sekali tersirat mengenai hubungannya dengan Orwell. Hanya ada soal kelompok religius yang saya belum kroscek lebih jauh. Novel ini mengambil latar waktu yang sama, guna menceritakan sebuah kisah yang terbagi dalam 3 jilid.

Jilid 1, kita disuguhkan dengan teknik menulis yang cukup menarik. Kita disuguhkan pada narasi bahwa dunia masih dalam keadaan normal. Aomame berhasil membunuh orang dengan kemampuan yang ciamik, tanpa bekas dan mengisyaratkan teknik tinggi. Barangkali Murakami mengetahui betul teknik-teknik beryoga sedemikian sehingga ia tahu celah menarik bahwa dengan yoga, lalu ttahu urat manusia dan bagaimana membunuh tanpa jejak tuh sedemikian enaknya. Mirip dengan perlawanan seorang juru masak, di Kutukan Dapur-nya, Eka Kurniawan.

Secara personal saya mengamini pada jilid satu ini, ada fragmen pengalaman sehari-hari yang dialami seseorang di dunia penulisan. Ada banyak orang yang bisa menulis, tapi orang yang bisa menyajikan tulisannya sebagaimana masakan enak itu tidak demikian.

Dalam novel tersebut Eriko Fukada, yang punya nama pena Fuka Eri mengirimkan sebuah naskah ke dalam sebuah lomba yang kemudian ternyata kalah. Namun, Tengo Kawana, seorang ghostwriter dimana tulisannya acapkali muncul di media tapi tidak atas namanya, mencium bahwa naskah Fuka Eri begitu menarik. Ia merasa itu adalah naskah terbaik, tapi bagi Komatsu itu tidak cukup menjadi naskah yang menang lomba. Idenya menarik tapi penulisannya tidak enak dinikmati.

Itu lah kompleksitas menulis fiksi. Tidak sebagaimana naskah akademis yang cenderung mengutamakan isi ketimbang soal struktur penulisan, yang kita tahu memang sudah ada formatnya. Menulis fiksi adalah bagaimana menuangkan ruh sehingga orang tertarik dan menikmati ketika membacanya.

Ruh yang saya maksud adalah ruh sebagaimana disebutkan dalam obrolan Puthut EA dan Ong Hari di putcast mojok. Ong yang seorang visual art bercerita, suatu waktu ia mencoba mendesain adegan pasar lalu ia membawa para penjual di pasar Beringharjo untuk dalam beberapa waktu turut menjadi figuran di film yang digarap. Baginya orang yang terbiasa berjualan lebih cocok dari pada seorang menghafal petunjuk gerakan dari sebuah teks. Itulah ruh.

Pada akhirnya Komatsu menemukan ide yang begitu gila dengan mengusulkan membuat perlombaan baru dan ia ingin naskah Fuka Eri ditulis ulang Tengo Kawana. Suatu kecurangan yang ternyata berhasil memanangkan lomba dan naskah Fuka Eri berjudul Air Chrysalis laku keras di pasaran. Boleh dibilang, Air Chrysalis memiliki ruh dan orang-orang menikmatinya.

Selanjutnya, Air Chrysalis menjadi novel di dalam novel yang mewarnai narasi utama dari 1Q84. Air Chrysalis menyajikan konflik tentang adanya kelompok religius yang memiliki pemimpin selayaknya nabi dan kemudian memiliki wahyu dari orang-orang kecil. Segala konflik berujung pada Air Chrysalis. Pembunuhan Aomame pada pemimpin kelompok religius, hingga bertemunya ia dengan Tengo Kawana, teman kecilnya.

Dari jilid 3 kita menemukan bahwa menulis kisah cinta itu selalu menarik. Tergantung bagaimana menyajikan tulisan itu lengkap dengan bumbu-bumbunya. Spontanitas Murakami barangkali dapat menjadi sesuatu yang dinantikan ketika membaca novel-novelnya.

Dalam novel ini kita akan terkesiap dengan sebuah angle dimana kisah cinta pun dapat bermula kapanpun dan dimanapun. Selain itu ide menulis itu selalu ada. Tidak mungkin tidak ada, yang tidak ada justru kemampuan kita menangkap apa yang tersedia. Murakami tampak dari detail ceritanya menangkap banyak hal yang kiranya ia lihat, dengar, rasakan, sehari-hari.

Dulu dengan beberapa teman, kami sempat mendiskusikan bahwa sekiranya ada 2 jenis menulis. Pertama adalah menulis untuk diri sendiri, kemudian yang kedua menulis untuk dinikmati orang lain. Menulis untuk diri sendiri mudah sebagaimana seorang yang menulis diari sehari-hari. Sifatnya lebih privat, asal kita pribadi dapat membacanya bukan menjadi soal. Sementara itu menulis untuk orang lain, sebagaimana disinggung sebelumnya membutuhkan kejelian dan cita rasa yang tepat agar orang lain dapat turut menikmatinya.

Dari novel itu selain menikmati cerita saya justru dapat merangkai kita menulis. Tentu orang lain punya sendiri, tapi intinya adalah keseriusan. Murakami saja bisa membayangkan tangga emergensi sebagai jalan menuju dunia lain, masak iya kita tidak bisa?

--

--