Dewi Gumi Memaknai Kemerdekaan dari Puncak Gunung Mijil

wowot hk
4 min readSep 5, 2020

--

75 tahun sudah usia negeri ini merdeka. Perjalanan panjang kemerdekaan dan hingga usianya kini adalah suatu ingatan yang akan jadi beratus-ratus buku bila dituliskan. Banyak persprektif dan sudut pandang untuk menulis sejarah negeri ini.

Sudah beberapa kali momentum ini oleh Presiden terbaru diwarnai dengan penggunaan pakaian adat nusantara. Tidak seperti presiden sebelumnya presiden kali ini mengangkat tema-tema multikultural. Selain itu gebrakan dibuat dengan logo usia kemerdekaan yang dari tahun ke tahun cenderung lebih artistik.

Photo by Salsabila Atalieani Andiana on Unsplash

Tahun ini logo berikut dengan uang pecahan 75000 diluncurkan dan seperti menjadi kewajaran, akan ada hujatan dari masyarakat haluan sebelah. Dari munculnya logo PKI, hingga baju adat yang mirip baju orang tionghoa, masyarakat kiranya amat geli beli tak memperdebatkannya.

Beberapa media seperti biasa mengulas tentang materi redefinisi Pancasila, seakan Pancasila tidak bisa menyesuaikan zaman. Padahal sewaktu sekolah, para guru PPKN bilang Pancasila akan bisa menyesuaikan zaman. Kita tentu bingung, tapi memang begitulah, agaknya guru kalah pandai dengan pejabat.

Tahun ini sedikit berbeda karena pandemi. Amat sedih, tentunya, tapi mungkin juga tidak. Karena diam-diam ada yang berpikir ternyata tidak setiap 17 Agustus harus ada lomba, toh rasanya sama.

Bagaimanapun kemerdekaan memang, minim, harus dirayakan. Karena merdeka itu susah sebagaimana kita tahu dari buku-buku sekolah. Merdeka itu susah apalagi dari musuh yang kita tidak pernah benar-benar tahu siapa musuh kita.

Malam ini di kampung diadakan sebuah acara perayaan kemerdekaan, meski telat 3 minggu. Kenapa telat? Tentu bukan karena dana, tapi soal aturan pemerintah yang belum mengizinkan tempat wisata buka. Maklum, perayaan ini diselenggarakan juga terkait dengan harlah dari tempat wisata di kampung saya.

Malam ini spesial karena selain diadakan pentas juga dihadiri oleh wakil bupati sekaligus calon suksesor bupati hari ini. Meski ini tahun politik, tentu wakil bupati ini tidak berkampanye. Dia tentu hadir karena suka bersosial dengan masyarakat atau mungkin juga tidak ingin kalah kompak dengan Bapak bupati yang minggu lalu hadir ke tempat ini.

Tempat wisata ini bernama Dewi Gumi, singkatan dari Desa Wisata Gunung Mijil. Ini merupakan tempat yang dipercaya oleh warga masyarakat bahwa dulunya merupakan pos pemantau ketika Perang Jawa pertama kali meletus. Dewi Gumi, yang saya ingat, dulu sering menjadi tempat tujuan bolos pelajaran olah raga, telah disulap menjadi tempat rekreasi yang begitu nyaman.

Kini tempat ini telah genap berusia satu tahun. Perayaannya (atau dalam poster peringatan hari kemerdekaan) menghadirkan calon bupati dan tamu pejabat lain mungkin menjadi titik tolak perjuangan beliau di ajang pemilihan bupati. Barangkali pemilihan bupati adalah laksana perang jawa baginya. Atau mungkin juga beliau ingin meresapi dan merefleksikan diri terhadap sosok Pangeran Diponegoro.

Beliau bukan orang pertama. Banyak tokoh pergerakan baik dari golongan kiri atau kanan menggunakan Pangeran Diponegoro sebagai simbol perlawanan mereka mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Sneevliet misalnya menulis dalam satu artikelnya bahwa orang Jawa harus mengadopsi Diponegoro sebagai contaoh yang ideal. Adapun Sukarno, pada acara api unggun yang diselenggarakan gerakan kepanduan PNI di Bandung Februari 1929, menyatakan bahwa kisah hidup Diponegoro adalah cerita nasionalis yang heroik. Belakangan bahkan Diponegoro dipakai oleh teman-teman pendukung khilafah untuk membuktikan sejarah khilafah di nusantara.

Saya pribadi dibuat kagum oleh sikap kesatria Pengeran Diponegoro, sewaktu ia diajak dalam perundingan palsu dan akhirnya tertangkap. Bagi saya beliau sangat mungkin menghajar bahkan membunuh De Cock di dalam ruangan itu. Tapi ia memilih menyerahkan diri demi keselamatan para pengikutnya, yang sudah sangat menderita di akhir-akhir perang Jawa.

Photo by fahmi sudira on Unsplash

Oleh karenanya wajar kalau saja Babad Diponegoro masuk ke dalam salah satu benda warisan dunia. Selain memang taktik perang yang brilian, kehidupan Diponegoro cukup lengkap untuk menggambarkan masyakarat jawa pada masa itu bahkan masa sebelumnya. Di antaranya ada perang saudara, kepercayaan datangnya juru selamat, hubungan masyarakat bawah dengan trah kerajaan dan lain-lain.

Di kampungku Diponegoro kini telah bertransformasi menjadi monumen wisata bernama Dewi Gumi. Saya yakin generasi hari ini atau juga masyarakat tak hanya terpukau pada trampolin, kolam renang, atau juga tanamannya. Tentunye mereka mengingat bagaimana fungsi tempat ini ketika menjdai benteng atau juga pos jaga daerah pelungguh Pangeran Diponegoro.

Memaknai ulang tahun Dewi Gumi dengan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan. Dewi Gumi sebagai bagian kecil dari Indonesia sudah sepantasnya memaknai, merefleksikan arti dari kemerdekaan itu sendiri. Apa makna sesungguhnya merdeka? Benarkah kita merdeka? Atau malah tak punya pilihan?

Bukannya apa-apa tapi transformasi menuju arah lebih baik itu harus lengkap: bukan hanya bangunan tapi juga manusianya.

--

--