Ontran-Ontran #1: Ambisi

wowot hk
2 min readDec 20, 2020

--

Memuncaki akhir tahun ini, saya akan coba bikin sedikit resume dari aktivitas yang tak pernah saya catat selama setahun belakangan. Orang-orang boleh saja nantinya menyebut sebagai suatu bentuk romantisasi atau juga mungkin semacam rajukan. Monggo, ini hanya rangkaian kata yang sederhana.

Januari 2020, saya lupa tanggal berapa. Ekspektasi kelulusan saya tertunda. Saya kelewat waktu, ketika teman saya mengajak wisuda bersama di bulan Februari.

Waktu itu saya masih perlu membuktikan satu dua sifat yang jadi dasar teori penulisan skripsi. Saya harus menghadap sebanyak tiga kali sebelum akhirnya dapat membuktikan sifat-sifat tersebut.

Suatu waktu ada teman nyeletuk, “kamu nih emang orang Jogja banget…”

Kupikir karena saya medok, atau sedikitnya lingkar pertemanan saya dengan orang yang tak berbahasa jawa. Tapi ternyata tidak. Belakangan setelah saya dinyatakan lulus, ia bilang bahwa hidup saya terlalu pelan. Kurang ambisius. Karena menurutnya judul penelitian yang saya ambil itu mudah.

Saya terima, dan merasa demikian. Saya tidak pernah mengerjakan skripsi dengan usaha yang cukup tinggi sebagaimana teman-teman saya. Beberapa teman saya sempat rela jauh-jauh ke Bantul mencari rumah saya untuk minta dibantu pengerjaan skripsinya. Itu pun hanya untuk beberapa jawaban yang kupikir kalau jawaban itu keluar dari mulutku adalah masih abu-abu.

Ya walaupun saya juga belum selesai, ada yang beranggapan saya itu penting dalam skripsi mereka.

Saya tidak pernah seperti mereka. Sedikit kebelakang ternyata memang tidak ada sejarah bahwa saya melakukan suatu hal dengan penuh ambisius. Tidak ada kecuali saya memang menyukainya.

Saya sempat tiap hari main bola di kamar, berlatih mengarahkan bola dengan menjadikan buntelan kertas sebagai bola dan kaki-kaki kursi sebagai gawang. Saya yakin orang akan bilang saya aneh. Kalau ada yang sebut itu bagian dari latihan biar sorenya bisa cetak gol, kiranya itu tidak ada hubungannya. Saya melakukan hal demikian mungkin mirip dengan anak-anak yang memainkan mainan, yang memang semasa itu tidak saya miliki.

Pernah juga, saya dan orang tua bernegosiasi kalau dapat bernilai bagus selama setahun, saya akan dibelikan sepeda. Tapi itu tidak menjadikan ambis sama sekali. Malahan saya makin giat main ke sungai atau juga ke sawah di dekat rumah. Walau akhirnya memang saya memiliki nilai bagus, tapi ketika mau dibelikan sepeda saya menolaknya. Saya merasa, ya, tak ada apapun yang berbeda dengan saya. Lagi pula, kupikir waktu itu, sepeda ibu saya masih lebih baik.

Mungkin kalau saja ambisius, saya dapat mewakili kabupaten Bantul dalam olimpiade matematika tingkat SD. Sayangnya memang beberapa kali saya digagalkan oleh kemampuan lingustik yang lemah. Dimana anehnya saya tidak pernah mempelajarinya dengan serius di kemudian hari.

Barangkali boleh untuk menyebut ambisius itu perlu jadi satu variabel tambahan dalam hidup. Saya mengakui itu penting. Ibarat kendaraan, ya semacam bahan bakar untuk menuju tempat yang dituju. Ambisi adalah kata semangat yang diucapkan oleh diri kita sendiri. Ambisi yang mengacu pada proses, bukan tujuan. Karena saya percaya tidak ada orang yang tidak punya tujuan.

--

--